
SENTRA JATENG – Sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat mengenai Gaza resmi dibuka di Kairo, Mesir, pada Senin (13/10/2025) waktu setempat. Pertemuan yang dihadiri oleh puluhan pemimpin dunia, organisasi internasional, dan negara-negara Arab ini digelar dalam upaya mendorong gencatan senjata yang berkelanjutan dan membuka jalan bagi solusi dua negara. Namun, di balik seruan perdamaian yang bergema, bayang-bayang perbedaan pendapat yang tajam justru menguar di ruang konferensi.
KTT ini digelar di tengah situasi genting, menyusul eskalasi konflik Israel-Palestina yang kembali memanas dalam beberapa pekan terakhir. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, dalam sambutannya membuka konferensi, menekankan urgensi untuk segera menghentikan pertumpahan darah. “Kita tidak bisa terus menerus membiarkan siklus kekerasan ini berlanjut. Rakyat Gaza telah menderita terlalu lama. Kita membutuhkan gencatan senjata yang permanen sekarang juga, diikuti dengan rekonstruksi menyeluruh dan jalan yang jelas menuju solusi dua negara,” tegas Guterres.
Dua Blok, Dua Visi yang Berbeda
Konferensi ini dengan cepat mempertontonkan dua kubu dengan visi yang sulit dipertemukan. Di satu sisi, mayoritas negara Arab dan Eropa mendesak diakhirinya operasi militer Israel di Gaza dan penarikan pasukan secara penuh. Mereka menekankan bahwa masa depan Gaza harus diserahkan kepada Otoritas Palestina sebagai bagian dari solusi dua negara.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang hadir secara virtual, menyatakan penolakannya terhadap syarat-syarat yang diajukan. Dalam pernyataannya yang keras, Netanyahu menegaskan bahwa Israel tidak akan menghentikan operasi militernya hingga ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh kelompok Hamas tuntas. “Tidak akan ada gencatan senjata permanen sebelum semua tawanan kami dibebaskan dan kapasitas militer Hamas dilucuti sepenuhnya. Itu adalah posisi kami yang tidak dapat ditawar,” ujarnya dengan tegas.
Tantangan Terberat: Masa Depan Pasca-Perang
Salah satu poin paling alot dalam pembahasan adalah mengenai tata kelola Gaza pasca-konflik. Mesir dan Arab Saudi secara khusus memperingatkan bahaya dari rencana Israel yang disebut-sebut akan mempertahankan kehadiran keamanannya di Gaza untuk jangka panjang.
Seorang diplomat senior Eropa yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan pesimismenya. “Tantangan terbesarnya adalah tidak adanya kesepakatan tentang ‘hari setelahnya’. Jika Israel bersikeras pada kontrol keamanan unilateral dan menolak otoritas Palestina, maka kita hanya menabur bibit konflik berikutnya. Kekosongan kekuasaan akan dengan mudah diisi oleh kekuatan radikal baru,” papar diplomat tersebut kepada Reuters.
Harapan dan Realita di Lapangan
Meski menghasilkan komunike bersama yang mendesak gencatan senjata kemanusiaan, KTT ini dinilai banyak pengamat belum berhasil merobak kebuntuan fundamental. Komitmen finansial untuk rekonstruksi Gaza, yang disebut-sebut mencapai miliaran dolar, juga terasa hampa tanpa adanya jaminan keamanan dan kerangka politik yang jelas.
KTT Kairo telah usai, meninggalkan pekerjaan rumah diplomasi yang masih sangat berat. Pertemuan ini mungkin telah membuka babak baru dalam perundingan, tetapi babak tersebut justru dipenuhi dengan tantangan dan ketidakpastian yang lebih kompleks. Dunia kembali menunggu, sementara harapan perdamaian bagi warga Gaza masih tergantung pada negosiasi-negosiasi di ruang tertutup yang jauh dari jangkauan mereka.
Red (ar/ar)
