
SENTRA JATENG – Ekonomi China kembali menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Badan Statistik China (National Bureau of Statistics/NBS) mengumumkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut pada kuartal III 2025 hanya sebesar 4,8 persen (year-on-year). Angka ini jauh lebih rendah dari proyeksi pemerintah yang menargetkan sekitar 5 persen untuk tahun ini, dan memperpanjang tren perlambatan yang terjadi dalam beberapa kuartal terakhir.
Pelemahan ini tidak terlepas dari dua masalah struktural yang terus membelit: krisis properti yang dalam dan perang dagang yang kian sengit dengan sejumlah mitra dagang utamanya. Kombinasi kedua faktor ini memberikan tekanan berat pada mesin pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Kontraksi Properti yang Tak Kunjung Usai
Sektor properti, yang selama puluhan tahun menjadi penyangga utama perekonomian China, justru menjadi sumber masalah. Data terbaru menunjukkan penjualan properti residensial masih mengalami kontraksi yang dalam. “Investasi di sektor properti turun 10,2 persen pada periode Januari-September 2025 dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Ini adalah penurunan beruntun ke-15 kalinya,” ujar juru bicara NBS dalam konferensi persnya, seperti dilaporkan kantor beria Xinhua.
Krisis yang berawal dari gagal bayar sejumlah developer besar seperti Evergrande dan Country Garden ini telah memicu gelombang pesimisme di kalangan konsumen dan investor, sehingga memperlambat aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Dampak Mematikan dari Perang Dagang
Di sisi eksternal, eskalasi perang dagang dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa semakin membebani sektor manufaktur dan ekspor China. Pemerintah China sendiri telah mengakui dampak dari ketegangan perdagangan ini. Seorang pejabat senior Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional (NDRC), Zhang Li, menyatakan kekhawatirannya.
“Lingkungan eksternal yang semakin kompleks dan penuh tantangan telah memberikan tekanan signifikan pada permintaan luar negeri. Kondisi ini, ditambah dengan masalah domestik di sektor properti, menciptakan tantangan yang tidak mudah bagi perekonomian kami,” kata Zhang Li dalam sebuah briefing policy.
Respons Kebijakan Pemerintah China
Menyikapi perlambatan ini, pemerintah China dikabarkan sedang mempersiapkan serangkaian stimulus fiskal dan moneter tambahan. Rencananya, paket stimulus akan difokuskan pada pendorongan konsumsi domestik dan investasi di sektor-sektor high-tech dan energi hijau, sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada sektor properti.
Namun, banyak analis memandang bahwa ruang gerak pemerintah Beijing tidak seluas dulu. Tingkat utang yang sudah tinggi dan tekanan pada nilai yuan membatasi kemampuan otoritas untuk meluncurkan stimulus berskala besar seperti yang dilakukan pada krisis-krisis sebelumnya. Perekonomian China kini berada pada fase menantang, mencoba bermanuver di tengah badai krisis domestik dan tekanan global.
Red (ar/ar)
